Pagi ini
aku teringat akan sebuah pengalaman yang cukup menyentuh hatiku. Nggak tau
kenapa, aku jadi pingin nge-share pengalamanku di blog. Kejadian ini aku alamin
beberapa bulan yang lalu, waktu aku masih liburan di kampung halamanku,
Purwkerto. Waktu itu, aku sekeluarga baru selesai ibadah di sebuah gereja
Kristen di Purwokerto. Kami sekeluarga nggak langsung pulang. Kami menunggu
agak lama di dalam gereja karena ada keperluan. Sementara kami sekeluarga masih
berada di dalam gereja, orang2 yang lain sudah berhambur keluar gereja dan
bergegas pulang. Beberapa masih keliatan asyik ngobrol di dalam gereja, ada
juga yang asyik ngobrol di luar. Setelah keperluan kami selesai, kami bergegas
keluar gereja menuju parkiran mobil di depan gereja. Suasana di halaman gereja
dan parkiran sudah sepi, tidak ada satu jemaat pun yang masih tinggal. Ketika
kami sekeluarga berjalan menuju mobil, datanglah dua orang pria menghampiri
kami. Yang satu masih agak muda, dia adalah tukang parkir. Yang satunya sudah
tua dan dia adalah tukang becak.
Si tukang
becak tersebut segera menawari kami tumpangan. Katanya, “becak, mbak?” Lalu aku
cuma tersenyum sambil menggeleng. Setelah aku berlalu, papaku lah yang
ditawarinya tumpangan. Katanya, “becak, boss?” Papaku menolak, “mboten, pak.”
Aku merasa iba dan kasihan melihat si tukang becak yang sudah tua itu tidak
mendapat penumpang. Dia terlihat sudah tua dan berbaju alakadarnya. Becaknya pun
sudah tua sama seperti orangnya dan penampilan fisik dari becaknya sudah jelek,
sudah penuh tambal-tambalan, sudah tidak menarik seperti becak-becak lainnya. Secara
manusiawi, aku bisa ‘ngerasain’ gimana rasanya jadi tukang becak yang nawarin
jasanya sama orang terakhir yang keluar dari gereja, tapi akhirnya ditolak. Aku
lihat ada kekecewaan di wajah bapak itu dan itu pasti. Aku bisa ngerasain
hopelessnya dia gimana. Sekeliling gereja sudah sepi, sudah tidak ada lagi
jemaat yang masih tinggal di gereja. Sekeliling gereja pun sudah tidak ada lagi
tukang becak yang ‘berburu’ penumpang. Hanya dialah satu-satunya tukang becak
yang masih ‘berburu’ penumpang di gereja. Dan ketika dia menghampiri kami, kami
pun menolak menggunakan jasa becaknya karena kami sudah membawa kendaraan
pribadi.
Aku sempat
bergumul dengan hati kecilku, apakah sebaiknya aku memberikan uang di
kantongku, yang memang tidak banyak, hanya 20ribu rupiah kepada tukang becak
tersebut secara cuma-cuma atau tidak. Ketika sudah di dalam mobilpun aku masih
bergumul. Aku bingung. Ternyata yang merasakan pergumulan itu bukan hanya aku,
tapi mama dan papaku juga. Mamaku mengambil inisiatif untuk memberi uang kepada
tukang becak tersebut uang secara Cuma-Cuma. Mama meminta papa memberikan
20ribu rupiah ke tukang becak tersebut. Tukang
becak itu terlihat sangat gembira ketika diberi uang oleh papa secara Cuma-Cuma.
Setelah
aku merenungkan pengalaman pribadiku ini, ada banyak hal yang aku dapat. Pertama,
menolong orang lain, membuat dan melihat orang lain bahagia karena bantuan atau
kehadiran kita ternyata sungguh2 touching.So,
jangan ragu untuk membantu atau menolong orang yang benar-benar membutuhkan,
apalagi jika orang tersebut ada di depan kita. Jujur, aku menyesal karena aku
nggak langsung ambil inisiatif pada saat itu juga untuk memberikan tukang becak
tersebut uang sakuku. Yang kedua, kalau kita pingin menolong orang, nggak usah
yang memikirkan yang jauh-jauh dulu. Karena apa? Karena justru banyak sekali
orang di sekitar kita yang membutuhkan pertolongan dari kita, tetapi kehadiran
mereka yang ada di dekat kita, justru sering membuat mereka terlupakan. Kita terlalu
sering memikirkan yang jauh-jauh. Padahal kita lupa, kalau di sekitar kita
justru banyak sekali orang-orang yang membutuhkan pertolongan kita supaya berkat
dan Kabar Gembira itu tidak hanya berhenti di diri kita, melainkan mereka pun
dapat merasakan berkat dan Kabar Gembira dari Tuhan melalui diri kita.
HAPPY
WEEKEND!! GOD BLESS YOU ALL.