Tahun 1999
Di
suatu pagi yang cerah, seorang ibu muda memboncengkan anak sulungnya yang
bernama Dea naik sepeda menuju ke perpustakaan tua. Perpustakaan tersebut
terletak di dalam gang dan tidak terlalu populer. Pengelolanya adalah yayasan
Kristiani. Perpustakaan tersebut agaknya sudah tua, buku-buku yang disewakan
sudah terlihat lapuk, pengunjungnya tidak terlalu banyak dan penjaganya pun
sudah kakek-kakek. Sekilas jika melihat perpustakaan tersebut, tersirat rasa
iba karena memang terlihat memprihatinkan. Sang ibu bukanlah seorang yang
berada, namun ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Ia pun memilih
perpustakaan tersebut karena biaya peminjaman bukunya yang terbilang murah.
“Ssstt..
Jangan berisik ya,” kata Ibu kepada Dea ketika mereka memasuki perpustakaan.
Dea
hanya mengangguk. Dalam hatinya, dia bertanya-tanya mengapa harus diam.
“Orang-orang di sini lagi konsentrasi membaca buku, jadi nggak boleh berisik, nanti mereka terganggu,” lanjut Ibu seolah tahu apa yang sedang menjadi pertanyaan dalam pikiran anaknya.
“Orang-orang di sini lagi konsentrasi membaca buku, jadi nggak boleh berisik, nanti mereka terganggu,” lanjut Ibu seolah tahu apa yang sedang menjadi pertanyaan dalam pikiran anaknya.
Dea
mengedarkan pandangan ke arah meja-meja yang ada di hadapannya. Terlihat
beberapa orang sedang membaca buku. Dia pun mengangguk mengerti setelahnya.
Ibu segera mengajaknya menuju rak yang
berisi buku-buku dongeng untuk anak-anak. Ada buku dongeng dari Indonesia, ada
pula buku dongeng yang berasal dari cerita-cerita luar negeri. Setelah
melihat-lihat koleksi yang berjajar rapi di rak buku, Dea terlihat tertarik
dengan majalah Donald Bebek dari Disney. Majalah tersebut seperti komik, ada
gambar dan dilengkapi dengan dialog, sehingga cocok untuk anak-anak seusianya.
Dari tatapan matanya, Ibu dapat melihat bahwa anaknya ingin sekali membaca
cerita tersebut. Ibu pun mengambil majalah Donald Bebek seri pertama, kedua dan
yang ketiga.
“Kamu mau baca yang ini?” tanya Ibu.
“Mau,” jawab Dea sambil
mengangguk-angguk.
Setelah proses administrasi selesai,
mereka bergegas pulang ke rumah. Wajah Dea terlihat senang dan berbinar-binar.
Mungkin dalam hatinya, “asyik! Akhirnya bisa baca buku yang itu. Hihihi.” Sampai
di rumah, Ibu membacakan cerita Donald Bebek untuk Dea karena dia belum bisa
membaca. Dengan cepat, buku pertama selesai, buku kedua selesai, begitu juga
buku ketiga.
Dea kecil begitu menyukai cerita Donald
Bebek. Hampir setiap hari, Ibu membacakan cerita itu untuknya. Biasanya Ibu
membacakannya saat sudah malam, sebagai cerita pengantar tidur. Hampir setiap
hari pula mereka pergi ke perpustakaan untuk mengembalikan dan meminjam buku
cerita Donald Bebek. Lama-kelamaan, membacakan cerita dongeng Donald Bebek
sudah menjadi kebiasaan. Karena sudah sering mendengarkan cerita Donald Bebek
dan sudah meminjam sampai berseri-seri, Dea pun hafal di luar kepala dengan alur
ceritanya.
Suatu hari, Dea jatuh sakit dan harus
menjalani rawat inap di rumah sakit. Beberapa hari setelah mendapat pengobatan
dari dokter, keadaannya sudah lebih baik, namun masih harus tetap berada di rumah
sakit. Rumah sakit tersebut memiliki fasilitas yang cukup lengkap. Di sana
disediakan mainan untuk para pasien balita dan anak kecil agar mereka dapat
bermain dan tidak bosan. Selain memanfaatkan fasilitas rumah sakit, Ibu
membawakan beberapa majalah Donald Bebek untuknya.
Seperti kebiasaan di rumah, Ibu pun
membacakan majalah untuknya. Tetapi, suatu pagi dengan sangat lantang...
“Donald Bebek segera pergi ke rumah
Paman Gober untuk menuntut masalah tersebut. Dia tidak terima dengan perlakuan
Paman Gober kepadanya yang terkesan tidak adil dan pelit banget...”
“Kemudian, Donald Bebek diam-diam masuk
ke dalam ruang bawah tanah milik Paman Gober. Dia ingin mengambil uang Paman
Gober yang sangat banyak...”
Dan seterusnya, dan seterusnya. Dea
terus mengoceh sembari melihat gambar-gambar alur cerita Donald Bebek dan
membolak-balik halaman dengan cepatnya. Dia tidak sedang membaca, melainkan
mengarang cerita sesuai dengan gambar yang ia lihat. Dia hanya mengoceh! Namun,
kemampuannya dalam menyampaikan cerita sudah sangat bagus bagi anak seusia dia.
Tata bahasa dan alur ceritanya pun logis dan jelas. Hal ini tentu mengundang
perhatian dari para ibu yang sedang menunggui anak-anak mereka.
“Bu, anaknya sudah bisa membaca ya?”
tanya seorang ibu yang berkerudung.
“Oh, belum, bu. Dia belum bisa membaca.
Dia lagi menceritakan cerita sesuai
gambar-gambar yang dia lihat.”
“Tapi, kok, bisa sebagus dan selancar
itu sih? Sampai-sampai saya kira dia sedang membaca. Hehehe.”
“Iya, bu. Kebetulan juga, setiap hari
saya membacakan cerita Donald Bebek tersebut untuk dia. Jadi, dia sudah hafal
di luar kepala tentang cerita-cerita Donald Bebek. Dia rangkai sendiri alur
cerita dan dikreasi sendiri bahasanya sesuai dengan gambar-gambar yang
dilihatnya. Hehehe.”
“Pintar banget ya. Masih kecil saja sudah lancar banget ceritanya.”
“Hehehe, ah biasa saja, kok, bu.”
“Eehh... anak saya aja belum lancar membaca, bu. Boro-boro
bisa membaca, bicara juga jarang sekali. Dia itu terlalu pendiam.”
“Yaa... Masing-masing anak punya bakat
dan kemampuannya sendiri-sendiri, bu. Hehe.”
Setelah
dokter memastikan bahwa Dea telah benar-benar sembuh dan sehat, dia
diperbolehkan pulang ke rumah. Seperti biasa, hari-harinya diisi kembali dengan
keceriaannya bersama si Donald Bebek. Hari demi hari pun berlalu. Berseri-seri
majalah Donald Bebek telah dipinjam dan dibacanya. Akhirnya, tidak ada lagi
seri majalah yang tersisa. Seluruh seri majalah Donald Bebek telah dipinjam
olehnya. Si Dea tidak mau membaca majalah atau buku cerita yang lain. Dia hanya
mau yang judulnya Donald Bebek! Ibu pun memutuskan untuk keluar dari
keanggotaan perpustakaan karena sudah tidak ada buku Donald Bebek yang dapat
dipinjam.
“Pak,
saya mau keluar dari keanggotaan perpustakaan ini karena sudah tidak ada lagi
buku cerita favorit anak saya. Jadi, berdasarkan aturan yang ada, saya minta
uang keanggotaan saya dikembalikan,” kata Ibu dengan sopan.
Kakek
tua penjaga perpustakaan itu terlihat agak bingung. “Bu, tolong jangan keluar
dari keanggotaan. Ibu nggak perlu
bayar uang bulanannya, deh. Tapi,
tolong jangan keluar, bu.”
Keadaan
menjadi hening. Ibu agaknya mengetahui maksud kakek tersebut yang tersirat
dalam kata-katanya. Perpustakaan itu sudah terlalu tua dan sepertinya tidak
mampu untuk mengembalikkan uang yang diminta. Keadaan kas perpustakaan pastilah
sangat memprihatinkan, sehingga si kakek dengan terpaksa berkata begitu.
“Hmm...
Yasudah, kalau begitu. Saya nggak
jadi keluar. Tapi, benar kan, nggak perlu
membayar uang bulanannya?” tanya Ibu memastikan.
“Iya,
bu. Ibu nggak perlu membayar. Terima
kasih atas pengertiannya ya, bu,” kakek tersenyum lega.
“Sama-sama, pak. Mari....” Ibu
berpamitan dan Dea tersenyum kecil. Itulah hari terakhir Dea dan Ibunya
menginjakkan kaki di perpustakaan.
Hari
berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Perpustakaan tua
tersebut akhirnya pun ditutup karena sudah tidak adanya pengunjung yang datang
dan keadaannya yang terbengkalai. Seluruh buku yang ada juga telah out of date. Segala memori tentang
perpustakaan dan buku-buku yang ada di dalamnya seolah hilang tak berbekas bersamaan
dengan ditutupnya perpustakaan.
Empat tahun kemudian...
Tahun
berlalu begitu cepat dan tidak terasa Dea telah duduk di kelas tiga SD. Di
usianya yang masih kecil, dia telah mempunyai hobi menulis. Dia biasanya
menulis cerita-cerita dongeng dan legenda/mitos. Hal tersebut terjadi karena
dia masih teringat akan cerita Donald Bebek kesayangannya dan juga mendapat inspirasi
setelah membaca buku cerita rakyat. Awalnya, dia hanya mencoba iseng-iseng
menghabiskan waktu luang dengan menulis, namun lama-lama hal tersebut pun
menjadi hobi.
Tiga
tahun kemudian, dia duduk di kelas enam sekolah dasar. Hobi menulis itu tetap
melekat pada dirinya. Akan tetapi, dia tidak lagi menulis tentang dongeng
maupun mitos. Cerita yang ditulisnya lebih bertemakan adventure. Satu hal yang unik adalah lagi-lagi cerita yang tulisnya terinspirasi oleh penulis terkenal,
Enid Blyton, yang salah satu karya terkenalnya adalah Lima Sekawan. Dan...
kebiasaan menulisnya lebih sering dilakukan di sekolah, saat jam istirahat
tiba.
“De,
kamu lagi ngapain?” tanya seorang
teman.
“Lagi nulis cerita, Tan,” jawabnya
singkat dan padat.
“Cerita
apa, Dea?”
“Cerita
tentang adventure. Judulnya The Adventure.”
“Wooo...
pasti bagus nih! Nanti kalau sudah selesai, aku pinjam ya.”
“Ahh..
biasa aja, kok. Hehehe. Oke, oke. Nanti kalau sudah selesai, aku kasih ke kamu,
Tan.”
“Thanks,
ya.”
Cerita
yang bertemakan adventure tersebut dibuat dalam bentuk seri, yang tiap serinya
menceritakan kejadian dan masalah yang tidak saling berkaitan. Sama halnya
seperti novel Lima Sekawan. Kegemarannya dalam menulis juga menginspirasi teman
dekatnya, Vinda, untuk menulis cerita yang serupa.
Waktu
berlalu dan Dea sudah menulis cerita adventure-nya
sampai beberapa seri. Setiap seri ditulis dalam satu buku tulis. Tidak ada
kesulitan yang dirasa berarti baginya. Semua mengalir dengan baik dan dia
menikmatinya. Namun, setelah beberapa seri diselesaikannya, dia tidak
melanjutkan menulis cerita tersebut. Dia sepertinya merasa bosan. Lalu, dia
menulis cerita dengan genre yang
berbeda, yaitu cerita tentang kerajaan yang juga tidak diselesaikannya. Dia
vakum.
***
“Hah?!
Pengumuman apa itu?” kata Dea terkejut setelah mendengar pengumuman yang tidak
dihiraukannya. “Namaku disebut?”
“Iya,
ada namamu. Nanti pas istirahat
pertama, kita dengan beberapa teman yang tadi disebutkan di pengumuman harus ke
kantor guru buat ketemu Suster Wine,”
kata Sisi.
“Ada
apa emangnya?” Dea masih
terheran-heran.
“Nggak tau, deh. Tadi nggak dikasih tahu perihal apaan. Udahlah, manut wae.”
Teng....
Teng.... Teng.... Bunyi bel istirahat “membangunkan” seluruh siswa di SMP
Susteran Purwokerto. Semua berhamburan keluar kelas untuk bercengkerama dengan
teman-teman atau pacar di kantin, ada yang bermain sepak bola di lapangan, dan
sebagian tetap di kelas untuk belajar atau sekadar menghabiskan waktu karena
malas keluar. Dea, Sisi, dan beberapa anak yang disebutkan dalam pengumuman
segera menuju kantor Suster Wine.
Di
kantor, suster menjelaskan bahwa akan diadakan lomba menulis essay yang
bertemakan “Gereja Berkolaburasi dengan Internet”. Dalam kata lain, essay harus
membahas tentang kehadiran sosok Tuhan Yesus dalam jejaring-jejaring sosial
untuk membantu orang-orang yang mempunyai masalah. Dengan adanya hal tersebut,
diharapkan orang-orang dapat membagikan masalah yang tidak bisa mereka
ceritakan dengan teman atau konseling, sehingga solusi dapat dicari. Kehadiran sosok
Tuhan Yesus ini lebih ke arah membimbing, membantu, dan menolong masalah
orang-orang. Banyak orang yang membagikan masalah pribadi mereka di jejaring
sosial tapi hal itu tetap tidak membantu menyelesaikan masalah.
“Buset, susah juga, ya,” bisik Sisi
kepada Dea.
Dea
mengangguk, “ho oh.” Otaknya sedang berpikir keras mencari topik dan ide.
“Deadline
lombanya satu minggu lagi, persyaratan lomba ada di kertas yang sudah suster
bagikan kepada kalian. Suster harap kalian dapat memberikan yang terbaik agar
sekolah kita bisa mendapat juara. Suster yakin sekali kalau sekolah kita bisa
menang. Sekarang kalian boleh kembali. Terima kasih atas waktunya,” Suster Wine
menutup pengumuman itu dengan tersenyum bangga.
Anak-anak
berhamburan keluar. Dea menyusul teman-teman yang sedang makan di kantin,
sedangkan Sisi memilih kembali ke kelas.
“Eh,
Dea! Kamu udah selesai?” tanya Fanny
sambil mengurai senyum lebarnya saat melihat sahabatnya datang. Namun dia
sedikit heran dan bertanya lagi, “lho, mana Sisi?”
“Iya, nih udah selesai. Hehehe. Si Sisi nggak mau ikut ke kantin, katanya, pingin di kelas aja. Eh, by the way, kalian sadar nggak sih, waktu ternyata berjalan cepaaattt banget, ya? Aku tuh ngerasa kalau waktu bakalan cepat banget setelah lihat deadline lomba,” ujar Dea yang sudah duduk di sebelah Nunik yang sedang asyik menikmati mie basonya.
“Iya, nih udah selesai. Hehehe. Si Sisi nggak mau ikut ke kantin, katanya, pingin di kelas aja. Eh, by the way, kalian sadar nggak sih, waktu ternyata berjalan cepaaattt banget, ya? Aku tuh ngerasa kalau waktu bakalan cepat banget setelah lihat deadline lomba,” ujar Dea yang sudah duduk di sebelah Nunik yang sedang asyik menikmati mie basonya.
“Iya,
kamu bener banget, De! Aku aja masih nggak percaya lho, kalau kita sudah kelas delapan. Ckckck. Sebentar
lagi kita dah mau ujian negara, lulus,
terus SMA deh. Hahaha,” timpal Nunik
sambil masih berusaha menghabiskan mie dalam mulutnya. “Eh, omong-omong, kamu
jadi ikut lomba essay itu, kan?”
“Iya,
jadi. Tapi, aku bingung mau bikin tulisan yang kayak apa. Soalnya, temanya agak ribet, sih,” kata Dea. “Aku juga lagi galau nih, soalnya kakak rohani Kesan meminta aku untuk mbikin cerpen tentang cerita perjalanan
sekelompok anak muda yang mendaki gunung. Duuuhh, pusing!”
“Hmm...
Coba kamu pikirin dulu, De. Jangan
terburu-buru supaya karyamu nanti bagus dan kamu bisa juara,” Nunik memberi
nasehat. “Oya, Sisi juga ikut, kan? Terus, tema essaynya tentang apa? Oya,
cerpen yang diminta kakak Kesan itu untuk apa?”
“Iya,
dia ikut, kok. Dia juga dipilih Suster Wine. Tema essay “Gereja Berkolaburasi
dengan Internet”. Menantang,” Dea tersenyum. Dia diam sesaat sebelum menjawab
pertanyaan Nunik yang nyerocos tiada
henti. “Cerpen yang diminta kakak Kesan itu untuk drama di gereja, Nun.”
“Oh,
gitu... Aku doain kalian berdua bisa
menang, biar nama sekolah kita yang udah terkenal ini jadi lebih terkenal.
Hahaha,” celoteh Nunik lagi. “Dan, semoga cerpen kamu yang buat drama gereja bisa kamu tulis dengan baguuuuusss pakai banget!”
“Hahaha...
Ah, kamu bisa-bisa aja. Hahaha. Amin,
amin.”
Teng....
Teng.... Teng.... Bel tanda waktu istirahat telah usai berbunyi, mengharuskan
seluruh siswa-siswi menghentikan aktivitas di kantin maupun di lapangan. Semua
bergegas menuju kelas. Hari itu terasa berjalan dengan sangat cepat, sehingga
tidak terasa, bel pulang telah berbunyi.
“Bu,
kira-kira apa ya yang harus aku tulis untuk lomba essay?” tanya Dea dengan
bingung kepada Ibunya setelah sampai di rumah.
“Apa
tema essaynya?” Mama balik bertanya.
“Gereja
Berkolaburasi dengan Internet,” jawab Dea. “Tapi, aku bingung gimana nulis essay yang temanya seperti
itu. Aku belum begitu paham tentang jejaring sosial yang terbaru, Facebook. Yang aku paham baru satu, Friendster.”
“Nah,
pakai Friendster saja, De!” sahut
Mama memberi ide.
“Oh,
iya!” seru Dea dengan mata berbinar-binar.
Dea
pun mulai menulis essaynya. Dia menekankan akan kehadiran sosok Tuhan Yesus
dalam jejaring sosial, Friendster yang
bisa membantu penginjilan secara online,
konseling, sharing, dll. Tidak menang tidak apa-apa dalam pikirannya saat itu.
Baginya, yang terpenting dari semuanya adalah telah mencoba dan melakukan yang
terbaik sebisa mungkin. Dia hanya tidak mau mengecewakan Suster Wine yang telah
memilihnya.
Suster pasti memilih karena punya alasan dan
tujuan.
***
“Pengumuman
pemenang lomba essay bakalan diumumkan
hari ini lewat internet. Tapi, kayaknya
Suster Wine juga bakal ngumumin ke kita, deh,” kata Sisi.
“Aku
jadi deg-degan,” timpal Dea.
“Aku
bikin essaynya acak-acakan, lho,”
ujar Sisi.
“Sama,
aku juga. Soalnya, aku nggak ada ide
sama sekali. Bingung. Lagipula, dikejar deadline,” Dea menambahkan. “Menang
atau kalah nggak penting lah. Yang
penting udah berusaha.”
Hari
itu, pelajaran Bahasa Indonesia adalah pelajaran penutup. Dea harap-harap
cemas. Apakah Suster Wine akan mengumumkan pemenang lomba essay? Kalau dia
tidak menang, bagaimana? Pasti malu. Kalau menang, sudah pasti senang. Tapi,
dia terlihat sedikit psimis karena lomba essay itu ditujukan untuk umum,
sehingga saingan pun semakin berat. Salah satu dewan jurinya juga orang yang
sudah berpengalaman di bidang tulis-menulis dan journalism, yaitu Arswendo. Kemungkinannya untuk menang memang
kecil, tapi, berkat kerja keras dan kemauman usahanya, Dea berhasil meraih
juara 4. Sedangkan Sisi meraih juara 3. Kedua sahabat meraih juara.
Pemberian
penghargaan untuk keenam pemenang akan diadakan di aula SMP Susteran Purwokerto
dua hari setelah pengumuman dan dihadiri oleh para dewan juri, panitia, romo,
dan perwakilan guru pembimbing serta peserta dari beberapa sekolah. Acara
tersebut diadakan siang hari, setelah kegiatan belajar mengajar berakhir. Sebuah
kebanggaan tersendiri bagi Dea karena dapat memenangkan kompetisi tersebut
meskipun tidak meraih juara satu.
“Ibu
bangga pada dirimu, nak,” kata Ibu ketika penyerahan penghargaan selesai.
“Terima
kasih, ya, sudah mau ikut lomba. Terima kasih juga karena sudah mengharumkan
nama sekolah,” kata Suster Wine dengan wajah yang terlihat bangga.
“Iya,
suster, sama-sama. Saya juga sangat bersyukur dan berterima kasih karena suster
sudah memilih saya dan memberikan kesempatan,” ujar Dea dengan senyum lebar.
***
Empat
tahun sudah berlalu dan kini Dea sudah memasuki jenjang perguruan tinggi. Dia
memilih untuk menekuni bidang Sastra Inggris di Universitas Sanata Dharma. Selain
karena dia sangat suka Bahasa Inggris, dia memilih sastra karena kecintaannya
dalam bidang menulis. Cita-citanya ingin menjadi seorang penulis akan sangat
terbantu dengan latar belakang pendidikan sastra, menurutnya. Saat ini, Dea
sedang terus berusaha melanjutkan dan menekuni kembali aktivitas menulisnya
setelah sempat vakum selama duduk di bangku SMA. Dia hendak mengejar
cita-citanya dan mewujudkannya.
tadinya lagi iseng mau nyari donald duck , malah nyasar kesinii :D , pas dibaca baca , keren gan , ga beda jauh sm ane hobinya , tp ane ga berbakat nulis cerita yg ky ente bikin ini sist :D.. tp kasihan ya perpustakaannya udh tutup , baru sadar ,upanya kamu anak USD jg toh . ckckck
BalasHapusmakasih banyak ya buat pujiannya :) kamu anak USD juga? angkatan berapa ya? jurusan apa? :)
BalasHapusIya , angkatan 2013 , jurusan Akuntansi :) , kalo kamu ?
BalasHapusaku angkatan 2013 juga.. aku di sastra inggris :D maaf ya baru bisa balas. aku baru dpt koneksi internet hehehe
BalasHapusoh iya baru inget udah dicantumin diatas :D , oalah gayanya :p langka banget kayaknya internetnya
BalasHapusHahaha.. iya, di rumahku ngga ada internet jadinya selama liburan ga buka blog. kalopun buka ya pas ke tempat2 yang ber-wifi. lol :p
BalasHapus