Senin, 02 Juni 2014

Starting from Donald Duck

Tahun 1999
            Di suatu pagi yang cerah, seorang ibu muda memboncengkan anak sulungnya yang bernama Dea naik sepeda menuju ke perpustakaan tua. Perpustakaan tersebut terletak di dalam gang dan tidak terlalu populer. Pengelolanya adalah yayasan Kristiani. Perpustakaan tersebut agaknya sudah tua, buku-buku yang disewakan sudah terlihat lapuk, pengunjungnya tidak terlalu banyak dan penjaganya pun sudah kakek-kakek. Sekilas jika melihat perpustakaan tersebut, tersirat rasa iba karena memang terlihat memprihatinkan. Sang ibu bukanlah seorang yang berada, namun ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Ia pun memilih perpustakaan tersebut karena biaya peminjaman bukunya yang terbilang murah.
            “Ssstt.. Jangan berisik ya,” kata Ibu kepada Dea ketika mereka memasuki perpustakaan.
            Dea hanya mengangguk. Dalam hatinya, dia bertanya-tanya mengapa harus diam.
            “Orang-orang di sini lagi konsentrasi membaca buku, jadi nggak boleh berisik, nanti mereka terganggu,” lanjut Ibu seolah tahu apa yang sedang menjadi pertanyaan dalam pikiran anaknya.
            Dea mengedarkan pandangan ke arah meja-meja yang ada di hadapannya. Terlihat beberapa orang sedang membaca buku. Dia pun mengangguk mengerti setelahnya.
Ibu segera mengajaknya menuju rak yang berisi buku-buku dongeng untuk anak-anak. Ada buku dongeng dari Indonesia, ada pula buku dongeng yang berasal dari cerita-cerita luar negeri. Setelah melihat-lihat koleksi yang berjajar rapi di rak buku, Dea terlihat tertarik dengan majalah Donald Bebek dari Disney. Majalah tersebut seperti komik, ada gambar dan dilengkapi dengan dialog, sehingga cocok untuk anak-anak seusianya. Dari tatapan matanya, Ibu dapat melihat bahwa anaknya ingin sekali membaca cerita tersebut. Ibu pun mengambil majalah Donald Bebek seri pertama, kedua dan yang ketiga.
“Kamu mau baca yang ini?” tanya Ibu.
“Mau,” jawab Dea sambil mengangguk-angguk.
Setelah proses administrasi selesai, mereka bergegas pulang ke rumah. Wajah Dea terlihat senang dan berbinar-binar. Mungkin dalam hatinya, “asyik! Akhirnya bisa baca buku yang itu. Hihihi.” Sampai di rumah, Ibu membacakan cerita Donald Bebek untuk Dea karena dia belum bisa membaca. Dengan cepat, buku pertama selesai, buku kedua selesai, begitu juga buku ketiga.
Dea kecil begitu menyukai cerita Donald Bebek. Hampir setiap hari, Ibu membacakan cerita itu untuknya. Biasanya Ibu membacakannya saat sudah malam, sebagai cerita pengantar tidur. Hampir setiap hari pula mereka pergi ke perpustakaan untuk mengembalikan dan meminjam buku cerita Donald Bebek. Lama-kelamaan, membacakan cerita dongeng Donald Bebek sudah menjadi kebiasaan. Karena sudah sering mendengarkan cerita Donald Bebek dan sudah meminjam sampai berseri-seri, Dea pun hafal di luar kepala dengan alur ceritanya.
Suatu hari, Dea jatuh sakit dan harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Beberapa hari setelah mendapat pengobatan dari dokter, keadaannya sudah lebih baik, namun masih harus tetap berada di rumah sakit. Rumah sakit tersebut memiliki fasilitas yang cukup lengkap. Di sana disediakan mainan untuk para pasien balita dan anak kecil agar mereka dapat bermain dan tidak bosan. Selain memanfaatkan fasilitas rumah sakit, Ibu membawakan beberapa majalah Donald Bebek untuknya.
Seperti kebiasaan di rumah, Ibu pun membacakan majalah untuknya. Tetapi, suatu pagi dengan sangat lantang...
“Donald Bebek segera pergi ke rumah Paman Gober untuk menuntut masalah tersebut. Dia tidak terima dengan perlakuan Paman Gober kepadanya yang terkesan tidak adil dan pelit banget...”
“Kemudian, Donald Bebek diam-diam masuk ke dalam ruang bawah tanah milik Paman Gober. Dia ingin mengambil uang Paman Gober yang sangat banyak...”
Dan seterusnya, dan seterusnya. Dea terus mengoceh sembari melihat gambar-gambar alur cerita Donald Bebek dan membolak-balik halaman dengan cepatnya. Dia tidak sedang membaca, melainkan mengarang cerita sesuai dengan gambar yang ia lihat. Dia hanya mengoceh! Namun, kemampuannya dalam menyampaikan cerita sudah sangat bagus bagi anak seusia dia. Tata bahasa dan alur ceritanya pun logis dan jelas. Hal ini tentu mengundang perhatian dari para ibu yang sedang menunggui anak-anak mereka.
“Bu, anaknya sudah bisa membaca ya?” tanya seorang ibu yang berkerudung.
“Oh, belum, bu. Dia belum bisa membaca. Dia lagi menceritakan cerita sesuai gambar-gambar yang dia lihat.”
“Tapi, kok, bisa sebagus dan selancar itu sih? Sampai-sampai saya kira dia sedang membaca. Hehehe.”
“Iya, bu. Kebetulan juga, setiap hari saya membacakan cerita Donald Bebek tersebut untuk dia. Jadi, dia sudah hafal di luar kepala tentang cerita-cerita Donald Bebek. Dia rangkai sendiri alur cerita dan dikreasi sendiri bahasanya sesuai dengan gambar-gambar yang dilihatnya. Hehehe.”
“Pintar banget ya. Masih kecil saja sudah lancar banget ceritanya.”
“Hehehe, ah biasa saja, kok, bu.”
“Eehh... anak saya aja belum lancar membaca, bu. Boro-boro bisa membaca, bicara juga jarang sekali. Dia itu terlalu pendiam.”
“Yaa... Masing-masing anak punya bakat dan kemampuannya sendiri-sendiri, bu. Hehe.”
            Setelah dokter memastikan bahwa Dea telah benar-benar sembuh dan sehat, dia diperbolehkan pulang ke rumah. Seperti biasa, hari-harinya diisi kembali dengan keceriaannya bersama si Donald Bebek. Hari demi hari pun berlalu. Berseri-seri majalah Donald Bebek telah dipinjam dan dibacanya. Akhirnya, tidak ada lagi seri majalah yang tersisa. Seluruh seri majalah Donald Bebek telah dipinjam olehnya. Si Dea tidak mau membaca majalah atau buku cerita yang lain. Dia hanya mau yang judulnya Donald Bebek! Ibu pun memutuskan untuk keluar dari keanggotaan perpustakaan karena sudah tidak ada buku Donald Bebek yang dapat dipinjam.
            “Pak, saya mau keluar dari keanggotaan perpustakaan ini karena sudah tidak ada lagi buku cerita favorit anak saya. Jadi, berdasarkan aturan yang ada, saya minta uang keanggotaan saya dikembalikan,” kata Ibu dengan sopan.
            Kakek tua penjaga perpustakaan itu terlihat agak bingung. “Bu, tolong jangan keluar dari keanggotaan. Ibu nggak perlu bayar uang bulanannya, deh. Tapi, tolong jangan keluar, bu.”
            Keadaan menjadi hening. Ibu agaknya mengetahui maksud kakek tersebut yang tersirat dalam kata-katanya. Perpustakaan itu sudah terlalu tua dan sepertinya tidak mampu untuk mengembalikkan uang yang diminta. Keadaan kas perpustakaan pastilah sangat memprihatinkan, sehingga si kakek dengan terpaksa berkata begitu.
            “Hmm... Yasudah, kalau begitu. Saya nggak jadi keluar. Tapi, benar kan, nggak perlu membayar uang bulanannya?” tanya Ibu memastikan.
            “Iya, bu. Ibu nggak perlu membayar. Terima kasih atas pengertiannya ya, bu,” kakek tersenyum lega.
“Sama-sama, pak. Mari....” Ibu berpamitan dan Dea tersenyum kecil. Itulah hari terakhir Dea dan Ibunya menginjakkan kaki di perpustakaan.
            Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Perpustakaan tua tersebut akhirnya pun ditutup karena sudah tidak adanya pengunjung yang datang dan keadaannya yang terbengkalai. Seluruh buku yang ada juga telah out of date. Segala memori tentang perpustakaan dan buku-buku yang ada di dalamnya seolah hilang tak berbekas bersamaan dengan ditutupnya perpustakaan.
            Empat tahun kemudian...
            Tahun berlalu begitu cepat dan tidak terasa Dea telah duduk di kelas tiga SD. Di usianya yang masih kecil, dia telah mempunyai hobi menulis. Dia biasanya menulis cerita-cerita dongeng dan legenda/mitos. Hal tersebut terjadi karena dia masih teringat akan cerita Donald Bebek kesayangannya dan juga mendapat inspirasi setelah membaca buku cerita rakyat. Awalnya, dia hanya mencoba iseng-iseng menghabiskan waktu luang dengan menulis, namun lama-lama hal tersebut pun menjadi hobi.
            Tiga tahun kemudian, dia duduk di kelas enam sekolah dasar. Hobi menulis itu tetap melekat pada dirinya. Akan tetapi, dia tidak lagi menulis tentang dongeng maupun mitos. Cerita yang ditulisnya lebih bertemakan adventure. Satu hal yang unik adalah lagi-lagi cerita yang tulisnya terinspirasi oleh penulis terkenal, Enid Blyton, yang salah satu karya terkenalnya adalah Lima Sekawan. Dan... kebiasaan menulisnya lebih sering dilakukan di sekolah, saat jam istirahat tiba.
            “De, kamu lagi ngapain?” tanya seorang teman.
            “Lagi nulis cerita, Tan,” jawabnya singkat dan padat.
            “Cerita apa, Dea?”
            “Cerita tentang adventure. Judulnya The Adventure.”
            “Wooo... pasti bagus nih! Nanti kalau sudah selesai, aku pinjam ya.”
            “Ahh.. biasa aja, kok. Hehehe. Oke, oke. Nanti kalau sudah selesai, aku kasih ke kamu, Tan.”
            “Thanks, ya.”
            Cerita yang bertemakan adventure tersebut dibuat dalam bentuk seri, yang tiap serinya menceritakan kejadian dan masalah yang tidak saling berkaitan. Sama halnya seperti novel Lima Sekawan. Kegemarannya dalam menulis juga menginspirasi teman dekatnya, Vinda, untuk menulis cerita yang serupa.
            Waktu berlalu dan Dea sudah menulis cerita adventure-nya sampai beberapa seri. Setiap seri ditulis dalam satu buku tulis. Tidak ada kesulitan yang dirasa berarti baginya. Semua mengalir dengan baik dan dia menikmatinya. Namun, setelah beberapa seri diselesaikannya, dia tidak melanjutkan menulis cerita tersebut. Dia sepertinya merasa bosan. Lalu, dia menulis cerita dengan genre yang berbeda, yaitu cerita tentang kerajaan yang juga tidak diselesaikannya. Dia vakum.
***
            “Hah?! Pengumuman apa itu?” kata Dea terkejut setelah mendengar pengumuman yang tidak dihiraukannya. “Namaku disebut?”
            “Iya, ada namamu. Nanti pas istirahat pertama, kita dengan beberapa teman yang tadi disebutkan di pengumuman harus ke kantor guru buat ketemu Suster Wine,” kata Sisi.
            “Ada apa emangnya?” Dea masih terheran-heran.
            “Nggak tau, deh. Tadi nggak dikasih tahu perihal apaan. Udahlah, manut wae.”
            Teng.... Teng.... Teng.... Bunyi bel istirahat “membangunkan” seluruh siswa di SMP Susteran Purwokerto. Semua berhamburan keluar kelas untuk bercengkerama dengan teman-teman atau pacar di kantin, ada yang bermain sepak bola di lapangan, dan sebagian tetap di kelas untuk belajar atau sekadar menghabiskan waktu karena malas keluar. Dea, Sisi, dan beberapa anak yang disebutkan dalam pengumuman segera menuju kantor Suster Wine.
            Di kantor, suster menjelaskan bahwa akan diadakan lomba menulis essay yang bertemakan “Gereja Berkolaburasi dengan Internet”. Dalam kata lain, essay harus membahas tentang kehadiran sosok Tuhan Yesus dalam jejaring-jejaring sosial untuk membantu orang-orang yang mempunyai masalah. Dengan adanya hal tersebut, diharapkan orang-orang dapat membagikan masalah yang tidak bisa mereka ceritakan dengan teman atau konseling, sehingga solusi dapat dicari. Kehadiran sosok Tuhan Yesus ini lebih ke arah membimbing, membantu, dan menolong masalah orang-orang. Banyak orang yang membagikan masalah pribadi mereka di jejaring sosial tapi hal itu tetap tidak membantu menyelesaikan masalah.
            “Buset, susah juga, ya,” bisik Sisi kepada Dea.
            Dea mengangguk, “ho oh.” Otaknya sedang berpikir keras mencari topik dan ide.
            “Deadline lombanya satu minggu lagi, persyaratan lomba ada di kertas yang sudah suster bagikan kepada kalian. Suster harap kalian dapat memberikan yang terbaik agar sekolah kita bisa mendapat juara. Suster yakin sekali kalau sekolah kita bisa menang. Sekarang kalian boleh kembali. Terima kasih atas waktunya,” Suster Wine menutup pengumuman itu dengan tersenyum bangga.
            Anak-anak berhamburan keluar. Dea menyusul teman-teman yang sedang makan di kantin, sedangkan Sisi memilih kembali ke kelas.
            “Eh, Dea! Kamu udah selesai?” tanya Fanny sambil mengurai senyum lebarnya saat melihat sahabatnya datang. Namun dia sedikit heran dan bertanya lagi, “lho, mana Sisi?”
            “Iya, nih udah selesai. Hehehe. Si Sisi nggak mau ikut ke kantin, katanya, pingin di kelas aja. Eh, by the way, kalian sadar nggak sih, waktu ternyata berjalan cepaaattt banget, ya? Aku tuh ngerasa kalau waktu bakalan cepat banget setelah lihat deadline lomba,” ujar Dea yang sudah duduk di sebelah Nunik yang sedang asyik menikmati mie basonya.
            “Iya, kamu bener banget, De! Aku aja masih nggak percaya lho, kalau kita sudah kelas delapan. Ckckck. Sebentar lagi kita dah mau ujian negara, lulus, terus SMA deh. Hahaha,” timpal Nunik sambil masih berusaha menghabiskan mie dalam mulutnya. “Eh, omong-omong, kamu jadi ikut lomba essay itu, kan?”
            “Iya, jadi. Tapi, aku bingung mau bikin tulisan yang kayak apa. Soalnya, temanya agak ribet, sih,” kata Dea. “Aku juga lagi galau nih, soalnya kakak rohani Kesan meminta aku untuk mbikin cerpen tentang cerita perjalanan sekelompok anak muda yang mendaki gunung. Duuuhh, pusing!” 
            “Hmm... Coba kamu pikirin dulu, De. Jangan terburu-buru supaya karyamu nanti bagus dan kamu bisa juara,” Nunik memberi nasehat. “Oya, Sisi juga ikut, kan? Terus, tema essaynya tentang apa? Oya, cerpen yang diminta kakak Kesan itu untuk apa?”
            “Iya, dia ikut, kok. Dia juga dipilih Suster Wine. Tema essay “Gereja Berkolaburasi dengan Internet”. Menantang,” Dea tersenyum. Dia diam sesaat sebelum menjawab pertanyaan Nunik yang nyerocos tiada henti. “Cerpen yang diminta kakak Kesan itu untuk drama di gereja, Nun.”
            “Oh, gitu... Aku doain kalian berdua bisa menang, biar nama sekolah kita yang udah terkenal ini jadi lebih terkenal. Hahaha,” celoteh Nunik lagi. “Dan, semoga cerpen kamu yang buat drama gereja bisa kamu tulis dengan baguuuuusss pakai banget!”
            “Hahaha... Ah, kamu bisa-bisa aja. Hahaha. Amin, amin.”
            Teng.... Teng.... Teng.... Bel tanda waktu istirahat telah usai berbunyi, mengharuskan seluruh siswa-siswi menghentikan aktivitas di kantin maupun di lapangan. Semua bergegas menuju kelas. Hari itu terasa berjalan dengan sangat cepat, sehingga tidak terasa, bel pulang telah berbunyi.
            “Bu, kira-kira apa ya yang harus aku tulis untuk lomba essay?” tanya Dea dengan bingung kepada Ibunya setelah sampai di rumah.
            “Apa tema essaynya?” Mama balik bertanya.
            “Gereja Berkolaburasi dengan Internet,” jawab Dea. “Tapi, aku bingung gimana nulis essay yang temanya seperti itu. Aku belum begitu paham tentang jejaring sosial yang terbaru, Facebook. Yang aku paham baru satu, Friendster.”
            “Nah, pakai Friendster saja, De!” sahut Mama memberi ide.
            “Oh, iya!” seru Dea dengan mata berbinar-binar.
            Dea pun mulai menulis essaynya. Dia menekankan akan kehadiran sosok Tuhan Yesus dalam jejaring sosial, Friendster yang bisa membantu penginjilan secara online, konseling, sharing, dll. Tidak menang tidak apa-apa dalam pikirannya saat itu. Baginya, yang terpenting dari semuanya adalah telah mencoba dan melakukan yang terbaik sebisa mungkin. Dia hanya tidak mau mengecewakan Suster Wine yang telah memilihnya.
            Suster pasti memilih karena punya alasan dan tujuan.
***
            “Pengumuman pemenang lomba essay bakalan diumumkan hari ini lewat internet. Tapi, kayaknya Suster Wine juga bakal ngumumin ke kita, deh,” kata Sisi.
            “Aku jadi deg-degan,” timpal Dea.
            “Aku bikin essaynya acak-acakan, lho,” ujar Sisi.
            “Sama, aku juga. Soalnya, aku nggak ada ide sama sekali. Bingung. Lagipula, dikejar deadline,” Dea menambahkan. “Menang atau kalah nggak penting lah. Yang penting udah berusaha.”
            Hari itu, pelajaran Bahasa Indonesia adalah pelajaran penutup. Dea harap-harap cemas. Apakah Suster Wine akan mengumumkan pemenang lomba essay? Kalau dia tidak menang, bagaimana? Pasti malu. Kalau menang, sudah pasti senang. Tapi, dia terlihat sedikit psimis karena lomba essay itu ditujukan untuk umum, sehingga saingan pun semakin berat. Salah satu dewan jurinya juga orang yang sudah berpengalaman di bidang tulis-menulis dan journalism, yaitu Arswendo. Kemungkinannya untuk menang memang kecil, tapi, berkat kerja keras dan kemauman usahanya, Dea berhasil meraih juara 4. Sedangkan Sisi meraih juara 3. Kedua sahabat meraih juara.
            Pemberian penghargaan untuk keenam pemenang akan diadakan di aula SMP Susteran Purwokerto dua hari setelah pengumuman dan dihadiri oleh para dewan juri, panitia, romo, dan perwakilan guru pembimbing serta peserta dari beberapa sekolah. Acara tersebut diadakan siang hari, setelah kegiatan belajar mengajar berakhir. Sebuah kebanggaan tersendiri bagi Dea karena dapat memenangkan kompetisi tersebut meskipun tidak meraih juara satu.
            “Ibu bangga pada dirimu, nak,” kata Ibu ketika penyerahan penghargaan selesai.
            “Terima kasih, ya, sudah mau ikut lomba. Terima kasih juga karena sudah mengharumkan nama sekolah,” kata Suster Wine dengan wajah yang terlihat bangga.
            “Iya, suster, sama-sama. Saya juga sangat bersyukur dan berterima kasih karena suster sudah memilih saya dan memberikan kesempatan,” ujar Dea dengan senyum lebar.
***
            Empat tahun sudah berlalu dan kini Dea sudah memasuki jenjang perguruan tinggi. Dia memilih untuk menekuni bidang Sastra Inggris di Universitas Sanata Dharma. Selain karena dia sangat suka Bahasa Inggris, dia memilih sastra karena kecintaannya dalam bidang menulis. Cita-citanya ingin menjadi seorang penulis akan sangat terbantu dengan latar belakang pendidikan sastra, menurutnya. Saat ini, Dea sedang terus berusaha melanjutkan dan menekuni kembali aktivitas menulisnya setelah sempat vakum selama duduk di bangku SMA. Dia hendak mengejar cita-citanya dan mewujudkannya.




           

           





           


6 komentar:

  1. tadinya lagi iseng mau nyari donald duck , malah nyasar kesinii :D , pas dibaca baca , keren gan , ga beda jauh sm ane hobinya , tp ane ga berbakat nulis cerita yg ky ente bikin ini sist :D.. tp kasihan ya perpustakaannya udh tutup , baru sadar ,upanya kamu anak USD jg toh . ckckck

    BalasHapus
  2. makasih banyak ya buat pujiannya :) kamu anak USD juga? angkatan berapa ya? jurusan apa? :)

    BalasHapus
  3. Iya , angkatan 2013 , jurusan Akuntansi :) , kalo kamu ?

    BalasHapus
  4. aku angkatan 2013 juga.. aku di sastra inggris :D maaf ya baru bisa balas. aku baru dpt koneksi internet hehehe

    BalasHapus
  5. oh iya baru inget udah dicantumin diatas :D , oalah gayanya :p langka banget kayaknya internetnya

    BalasHapus
  6. Hahaha.. iya, di rumahku ngga ada internet jadinya selama liburan ga buka blog. kalopun buka ya pas ke tempat2 yang ber-wifi. lol :p

    BalasHapus